Timbang Nasib Remisi Koruptor Usai Ketok Palu MK

Jakarta, CNN Indonesia --

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU Pemasyarakatan dinilai bukan pembenaran untuk mempermudah remisi bagi narapidana kasus korupsi. Bola panas kini di tangan Kementerian Hukum dan HAM.

Sebelumnya, narapidana kasus korupsi O.C Kaligis mengajukan uji materi Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan dan penjelasannya soal hak remisi serta kaitannya dengan Pasal 34A, 36A, 43A, dan 43 B Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 

Mantan Ketua Mahkamah Partai NasDem ini memprotes ketentuan UU Pemasyarakatan soal hak remisi tersebut yang memberi persyaratan tertentu di bagian penjelasannya.


Oleh Kemenkumham era SBY, persyaratan remisi bagi narapidana kasus kejahatan berat, seperti korupsi, narkotika, dan terorisme, diperketat lewat PP No.99 Tahun 2012.

Syarat-syarat itu di antaranya adalah bersedia bekerjasama untuk membongkar kejahatannya (justice collaborator), mendapat rekomendasi dari lembaga terkait seperti KPK, membayar lunas uang pengganti kerugian atas kejahatannya, hingga menjalani dua pertiga masa hukumannya. 

Atas permohonan uji materi tersebut, MK, dalam pertimbangan putusannya, menyatakan hak remisi harus berlaku sama untuk setiap warga binaan alias narapidana, termasuk kasus korupsi.

Mahkamah pun menyebut aturan teknis pemasyarakatan harus mengusung konsep keadilan yang memperbaiki atau restorative justice.

"Sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa kecuali. Artinya, berlaku sama bagi semua warga binaan, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan," kata Hakim Konstitusi Suhartoyo, Kamis (30/9).

Di sisi lain, MK berpendapat pemberian remisi merupakan otoritas penuh lembaga pemasyarakatan. Oleh sebab itu, tidak seharusnya keputusan pemberian remisi dipengaruhi oleh lembaga lain.

MK pun menyatakan syarat tambahan pemberian remisi tidak seharusnya menghalangi warga binaan mendapatkan hak. Mahkamah menilai syarat tambahan seharusnya hanya berlaku terkait penambahan jumlah remisi.

"Meskipun demikian, pemberian hak tersebut tidak lantas menghapuskan kewenangan negara untuk menentukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh warga binaan karena hak tersebut merupakan hak hukum (legal rights),"menurut MK.

Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Hibnu Nugroho mengatakan dengan pernyataan MK itu bola panas kini bergulir ke Kementerian Hukum dan HAM. Pasalnya, putusan MK sebatas berdasarkan hak, sementara Kemenkumham memiliki kewenangan untuk membatasinya.

Infografis Melihat Beda Aturan Remisi dulu dan KiniInfografis Melihat Beda Aturan Remisi dulu dan Kini. (Foto: CNN)

"Putusan MK itu kan hak, berdasarkan hak, tapi kementerian punya kewenangan untuk membatasinya ketika ada kebijakan kejahatan-kejahatan yang masuk (kategori) luar biasa untuk menjadikan suatu penjeraan, sehingga tidak ada pelaku tindak pidana serupa," ujar Hibnu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (4/10).

Pernyataan MK tersebut, lanjutnya, juga bukan berarti pemerintah mencabut atau mengubah PP tersebut. Menurut dia, yang harus dilakukan Kemenkumham yakni mengatur lebih jelas untuk meminimalisasi tindak pidana serupa.

"Kementerian ke depan bisa mengatur tersendiri, yang tujuannya adalah untuk menjadikan, tidak terjadi satu tindak pidana serupa. Tujuannya adalah untuk menjadikan suatu pencegahan, untuk membuat jera pelaku-pelaku lain," cetusnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

Solusi Bagi Penumpukan Napi Kasus Narkoba BACA HALAMAN BERIKUTNYA

0 Response to "Timbang Nasib Remisi Koruptor Usai Ketok Palu MK"

Post a Comment